Kadang aku tak mengerti akan waktu. Ketika aku mengikutinya berjalan, semua terasa begitu lamban sampai aku jenuh. Namun disuatu saat ketika ia berlari, aku dipaksa untuk melewatkan sesuatu.

Tak ingin kah kau berjalan beriringan denganku?
Berjalanlah bersamaku, berhentilah untuk membodohi aku.
Mengertilah akan aku yang hanya menunggumu, waktu...


Sepertinya aku pernah berada disini
Bagian terpahit dari sebuah puing mimpi
Yang pernah dengan berani aku lewati
Namun aku terjatuh lagi disini

Dengan sendiri tanpa akhir
Aku selalu berteriak dalam panjangnya syair
Dalam harap yang hanya terbungkam mustahil untuk lahir
Masih mencoba mengais manisnya getir

Maaf Tuhanku,
Untuk dejavu kali ini aku marah dan mengadu
Haruskah membusuk diantara berjuta sembilu?
Setidaknya disaat aku baru saja sembuh dari sedu sedan itu

Selalu tangguh berdiri tak takut mati
Meski pernah berlari dan coba hindari hingga nyaris mati
Tuhan tidak cukup berbaik hati
Aku masih harus begini, sampai aku benci untuk bermimpi.



Yang datang melepas kelam
Menyelamatkan terang yang terikat sekam
Dalam garis-garisnya yang diam
Sebuah cahaya berjanji tak akan tenggelam

Namun bila semua hanya sekilas wacana
Terjebak atas ambigu retorika di dalamnya
Sebatas yang diumpamakan dalam kata
Cahaya ternikmati oleh sanubari yang peka

Membantu yang buta berjalan dalam gelap
Membangunkan yang mati dari lelap
Menemani yang sepi tanpa derap
Menyambung yang putus dengan harap

Benderang,
Gemilang,
Cemerlang,
Lalu terbang, hilang

Cahaya,
Jangan hadir sebatas teori belaka
Mari beriring di tiap detik suasana
Jangan mati, kini kuizinkan kau hidup dalam sebuah nyawa


Lelah sudah turuti hati
Egoisme nafsu atas bahagia semakin sulit dicerai
Seakan tak bosan mengemis sedikit saja cinta untuk diri
Ketulusan tercampak menjadi sekedar teori

Bagai anjing melolong mendamba sang tuan
Tak kunjung bosan hati ini mengais harapan
Dari sejuta kalian yang mungkin hanya bermodal kasihan
Kecewa bukan lagi jalan yang dapat terelakkan

Untuk setiap cinta yang datang dan berlalu
Kumohonkan agar tidak lagi menancapkan sembilu
Tak terlihatkah hati ini semakin berkarat, tergugu
Kasihani dia yang menjadi budak cinta kalian yang semu

Sedikit lagi sampai mati
Aku dibuang dan sendiri
Sempat meratap doa di dalam sepi
Berikan aku senyum sebelum benar-benar mati


Original Post by : Raditya Dika (http://radityadika.com/category/lagi-bener/page/3/)


Kepada kamu,
Dengan penuh kebencian.

Aku benci jatuh cinta. Aku benci merasa senang bertemu lagi dengan kamu, tersenyum malu-malu, dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak. Aku benci deg-degan menunggu kamu online. Dan di saat kamu muncul, aku akan tiduran tengkurap, bantal di bawah dagu, lalu berpikir, tersenyum, dan berusaha mencari kalimat-kalimat lucu agar kamu, di seberang sana, bisa tertawa. Karena, kata orang, cara mudah membuat orang suka denganmu adalah dengan membuatnya tertawa. Mudah-mudahan itu benar.

Aku benci terkejut melihat SMS kamu nongol di inbox-ku dan aku benci kenapa aku harus memakan waktu begitu lama untuk membalasnya, menghapusnya, memikirkan kata demi kata. Aku benci ketika jatuh cinta, semua detail yang aku ucapkan, katakan, kirimkan, tuliskan ke kamu menjadi penting, seolah-olah harus tanpa cacat, atau aku bisa jadi kehilangan kamu. Aku benci harus berada dalam posisi seperti itu. Tapi, aku tidak bisa menawar, ya?

Aku benci harus menerjemahkan isyarat-isyarat kamu itu. Apakah pertanyaan kamu itu sekadar pancingan atau retorika atau pertanyaan biasa yang aku salah artikan dengan penuh percaya diri? Apakah kepalamu yang kamu senderkan di bahuku kemarin hanya gesture biasa, atau ada maksud lain, atau aku yang-sekali lagi-salah mengartikan dengan penuh percaya diri?

Aku benci harus memikirkan kamu sebelum tidur dan merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, menjalar ke sekujur tubuh, dan aku merasa pasrah, gelisah. Aku benci untuk berpikir aku bisa begini terus semalaman, tanpa harus tidur. Cukup begini saja.

Aku benci ketika kamu menempelkan kepalamu ke sisi kepalaku, saat kamu mencoba untuk melihat sesuatu di handycam yang sedang aku pegang. Oh, aku benci kenapa ketika kepala kita bersentuhan, aku tidak bernapas, aku merasa canggung, aku ingin berlari jauh. Aku benci aku harus sadar atas semua kecanggungan itu…, tapi tidak bisa melakukan apa-apa.

Aku benci ketika logika aku bersuara dan mengingatkan, “Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kalian berdua tidak punya anything in common,” harus dimentahkan oleh hati yang berkata, “Jangan hiraukan logikamu.”

Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. Kesalahan yang secara desperate aku cari dengan paksa karena aku benci untuk tahu bahwa kamu bisa saja sempurna, kamu bisa saja tanpa cela, dan aku, bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu.

Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. Demi Tuhan, aku benci jatuh cinta kepada kamu. Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini; di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang bergumul di dalam dan meletup pelan-pelan…

aku takut sendirian.


Dendam
Terlalu sulit kini untuk diredam
Dengan suasana hati yang kian suram
Ditambah harga diri yang terkoyak dalam

Sakit
Terjebak dalam alur yang kian pahit
Menikmati simpang siur hujat yang semakin sengit
Melawan arogansi pemikir-pemikir sempit

Kesal
Air mata tak turun lagi, dia tersumpal
Maaf tak lagi mudah diucap dalam lafal
Kebencian mulai berkuasa menuju kekal

Senang
Mari berpesta untuk sang pemenang
Dengan tutur halus yang menggonggong
Silahkan tertawa dengan kebusukan yang menggenang

Doa
Dipersembahkan khusus dari hati yang terluka
Untuk siapa yang tak kenal peka
Bermodal asumsi tanpa fakta
Semoga kelak masih bisa menusuk dengan kata
Saat lidah tersengal luka dan air mata
Semoga



Keras, susah untuk ditembus
Retori berlogika menjadi keyakinan berarus
Hati dan bahagia diri kian tak terurus
Membela prinsip adalah sebuah harus

Egois, Arogan
Tertancap kian dalam menjadi slogan
Tidak pernah bertanya namun selalu menagih jawaban
Ayo katakan memang saya terlalu memuakkan

Jauh dari akal
Ucapan semua kawan dibuat tersumpal
Saat segala nasihat disambut dengan kesal
Ego diri yang sesat menjadi sebuah bekal, kekal
Distorsi nafsu diri bermain total
Semoga dengan segala kebodohannya, batu ini tidak tercekal sesal

Followers

Peoples Come

Find Any Blogs