Maafkan karena aku harus tertawa atas tingkahmu
Ketika menangkap pemandangan ada manusia yang rela menjilati ludah yang kemarin ia hamburkan dengan pasti
Padahal ludahnya masih basah
Padahal ludahnya masih berbuih
Tanyakan pada pikiranmu yang katanya paling berakal, untuk apa kau meludah jika tak pernah tau kenapa kau membuang ludah?

Didepanku kemarin, kau buang caci maki, kau samakan mereka atas bajingan
Barusan tadi, kau lempar caci maki, kau samakan dirimu atas mereka yang bajingan
Mulutku tertahan untuk bertanya, bahkan tersedak saat berontak untuk memaksa
Aku terlalu mengerti tentang kerasmu, tentang terlalu percaya-nya kau atas diri angkuh itu, sampai kau tidak mampu lagi mendengar bahwa mungkin-saja-kau-salah

Aku diam tapi hati dan ego-ku bergumul menyentak bisu-ku
Di depan mereka aku tertawa tapi aku segera tidak sabar membalikkan punggung untuk berduka
Mereka tau-nya aku terima, tapi aku yakin mereka tidak tau kalau kecewaku sedang meregang amarah

Diamku semakin membabi buta, saat matamu seakan teracung menghakimi aku yang kini jadi sampah
Sambil diam rapat terkunci, akhirnya kecewa ini mengalir dengan panasnya sampai aku harus terengah-engah saat bernafas
Tidak di depanmu, tidak di depan mereka, atau bahkan tidak di depan diriku sendiri
Karena sebenarnya aku pun menipu diriku sendiri untuk tidak diracuni pedih

Mungkin benar saat ini aku sedang memupuk kedinginan hatiku untuk tak lagi bersedih dalam bisu
Disini aku malah sedang tertawa terbahak bersama sembilu yang masih bersarang di dadaku
Menertawakanmu yang masih terus asik menjilati najis-najis itu dengan hingar bingar setan di kalap matamu
Setidaknya aku bersyukur masih bisa tertawa ketika semua dentum muak dan amarah berkecamuk menindih nafasku
Setidaknya aku tau, prinsip ternyata hanya sebatas kotoran dalam pengertianmu



0 comments:

Post a Comment

Followers

Peoples Come

Find Any Blogs